Artikel
kali ini tak jauh berbeda dengan artikel yang lalu tentang depopulasi dunia
hingga 93% “Codex Alimentarius: Racun Dimakanan Kita”. Namun artikel kali ini,
saya ingin memaparkan sebuah kejadian di masa lalu yang mana kasus ini dapat
menjadi sebuah pegangan bagi kita untuk melihat sepak terjang agenda depopulasi
dunia.
Pada
tahun 2005-2009 lalu, Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari (59) membuat gerah
World Health Organization (WHO) dan Pemerintah Amerika Serikat (AS). Fadilah
berhasil menguak konspirasi AS dan badan kesehatan dunia itu dalam
mengembangkan senjata biologi dari virus flu burung, Avian influenza (H5N1). Setelah
virus itu menyebar dan menghantui dunia, perusahaan-perusahaan dari negara maju
memproduksi vaksin lalu dijual ke pasaran dengan harga mahal di negara
berkembang, termasuk Indonesia. Fadilah menuangkannya dalam bukunya berjudul
Saatnya Dunia Berubah! Tangan Tuhan di Balik Virus Flu Burung. Selain dalam
edisi Bahasa Indonesia, Siti juga meluncurkan buku yang sama dalam versi Bahasa
Inggris dengan judul It’s Time for the World to Change.
“Pemerintah AS dikabarkan menjanjikan imbalan peralatan militer berupa senjata berat atau tank jika Pemerintah RI bersedia menarik buku Siti Fadilah Supari setebal 182 halaman itu. Majalah The Economist London menempatkan Fadilah sebagai tokoh pendobrak yang memulai revolusi dalam menyelamatkan dunia dari dampak flu burung.”
Konspirasi
tersebut, kata Fadilah, dilakukan negara adikuasa dengan cara mencari
kesempatan dalam kesempitan pada penyebaran virus flu burung. “Saya mengira
mereka mencari keuntungan dari penyebaran flu burung dengan menjual vaksin ke negara
kita”, ujar Fadilah kepada Persda Network di Jakarta. Situs berita Australia,
The Age, mengutip buku Fadilah dengan mengatakan, Pemerintah AS dan WHO berkonspirasi
mengembangkan senjata biologi dari penyebaran virus avian H5N1 atau flu burung
dengan memproduksi senjata biologi.
Karena
itu pula, bukunya dalam versi bahasa Inggris menuai protes dari petinggi WHO.
“Kegerahan” itu saya tidak tanggapi, betul apa nggak, mari kita buktikan. “Kita
bukan saja dibikin gerah, tetapi juga kelaparan dan kemiskinan. Negara-negara
maju menidas kita, lewat WTO, lewat Freeport, dan lain-lain. Coba kalau tidak
ada, kita sudah kaya”, ujarnya. “Saya sedang menulis jilid kedua. Di dalam buku
itu akan saya beberkan semua bagaimana pengalaman saya. Bagaimana saya
mengirimkan 58 virus, tetapi saya dikirimkan virus yang sudah berubah dalam
bentuk kelontongan”, ujarnya. “Virus yang saya kirimkan dari Indonesia
diubah-ubah Pemerintahan George Bush”, ujar menteri kesehatan pertama Indonesia
dari kalangan perempuan ini.
Perlawanan
Fadilah dimulai sejak korban tewas flu burung mulai terjadi di Indonesia pada
2005. Majalah The Economist London menempatkan Fadilah sebagai tokoh pendobrak
yang memulai revolusi dalam menyelamatkan dunia dari dampak flu burung.
“Menteri
Kesehatan Indonesia itu telah memilih senjata yang terbukti lebih berguna
daripada vaksin terbaik dunia saat ini dalam menanggulangi ancaman virus flu
burung, yaitu transparansi”, tulis The Economist. The Economist, seperti
ditulis Asro Kamal Rokan di Republika edisi Maret 2008 lalu, mengurai, Fadilah
mulai curiga saat Indonesia juga terkena endemik flu burung 2005 silam. Ia
kelabakan. Obat tamiflu harus ada. Namun aneh, obat tersebut justru diborong
negara-negara kaya yang tak terkena kasus flu burung.
Di
tengah upayanya mencari obat flu burung, dengan alasan penentuan diagnosis, WHO
melalui WHO Collaborating Center (WHO CC) di Hongkong memerintahkannya untuk
menyerahkan sampel spesimen. Mulanya, perintah itu diikuti Fadilah. Namun, ia
juga meminta laboratorium litbangkes melakukan penelitian. Hasilnya ternyata
sama. Tapi, mengapa WHO meminta sampel dikirim ke Hongkong? Fadilah merasa ada
suatu yang aneh. Ia terbayang korban flu burung di Vietnam. Sampel virus orang
Vietnam yang telah meninggal itu diambil dan dikirim ke WHO untuk dilakukan risk assessment, diagnosis,
dan kemudian dibuat bibit virus. Dari bibit virus inilah dibuat vaksin. Dari
sinilah, ia menemukan fakta, pembuat vaksin itu adalah perusahaan-perusahaan
besar dari negara maju, negara kaya, yang tak terkena flu burung.
Mereka
mengambilnya dari Vietnam, negara korban, kemudian menjualnya ke seluruh dunia
tanpa izin. Tanpa kompensasi. Fadilah marah. Ia merasa kedaulatan, harga diri,
hak, dan martabat negara-negara tak mampu telah dipermainkan atas dalih Global
Influenza Surveilance Network (GISN) WHO. Badan ini sangat berkuasa dan telah
menjalani praktik selama 50 tahun. Mereka telah memerintahkan lebih dari 110
negara untuk mengirim spesimen virus flu ke GISN tanpa bisa menolak. Virus itu
menjadi milik mereka, dan mereka berhak memprosesnya menjadi vaksin!
Di
saat keraguan atas WHO, Fadilah kembali menemukan fakta bahwa para ilmuwan
tidak dapat mengakses data sequencing DNA H5N1 yang disimpan WHO. Data itu,
uniknya, disimpan di Los Alamos National Laboratoty di New Mexico, AS. Di sini,
dari 15 grup peneliti hanya ada empat orang dari WHO, selebihnya tak diketahui.
Ternyata ini berada di bawah Kementerian Energi AS. Di lab inilah duhulu
dirancang bom atom Hiroshima. Lalu untuk apa data itu? Untuk vaksin atau
senjata kimia? Fadilah tak membiarkan situasi ini. Ia minta WHO membuka data
itu. Data DNA virus H5N1 harus dibuka, tidak boleh hanya dikuasai kelompok
tertentu. Ia berusaha keras. Dan, berhasil. Pada 8 Agustus 2006, WHO mengirim
data itu. Ilmuwan dunia yang selama ini gagal mendobrak ketertutupan Los
Alamos, telah memujinya!
Majalah
The Economist menyebut peristiwa ini sebagai revolusi bagi transparansi. Tidak
berhenti di situ. Siti Fadilah terus mengejar WHO agar mengembalikan 58 virus
asal Indonesia, yang konon telah ditempatkan di Bio Health Security, lembaga
penelitian senjata biologi Pentagon. Ini jelas tidak mudah. Tapi, ia terus
berjuang hingga tercipta pertukaran virus yang adil, transparan, dan setara.
Ia
juga terus melawan dengan cara tidak lagi mau mengirim spesimen virus yang
diminta WHO, selama mekanisme itu mengikuti GISN, yang imperialistik dan
membahayakan dunia. Dan, perlawanan itu tidak sia-sia. Meski Fadilah dikecam
WHO dan dianggap menghambat penelitian, namun pada akhirnya dalam sidang
Pertemuan Kesehatan Sedunia di Jenewa Mei 2007, International Government
Meeting (IGM) WHO akhirnya menyetujui segala tuntutan Fadilah, yaitu sharing
virus disetujui dan GISN dihapuskan.
Indonesia
sendiri pernah kecolongan pada kasus virus small pox (cacar). Pada 1974,
Indonesia dinyatakan bebas cacar oleh WHO. Karenanya, tahun 1984 WHO datang ke
Indonesia untuk memusnahkan virus cacar sekaligus laboratoriumnya di Biofarma
Bandung. Sejak saat itu Indonesia tidak lagi memiliki virus cacar. Tiba-tiba
pada 2003, WHO mengumumkan adanya senjata biologis dari virus cacar.
“Tahun
2005 Indonesia harus membeli vaksin cacar dari WHO karena ada senjata biologi
dari small pox. Yang bikin siapa saya tidak tahu tapi yang punya vaksin adalah
perusahan Amerika,” jelas Siti Fadilah. Selanjutnya, seluruh dunia harus
membeli vaksin untuk persediaan. Harganya pun super mahal, mencapai Rp 600
milyar. “Pemerintah tidak puya uang. Pengalaman ini tidak boleh terjadi pada
flu burung. Kalau menjadi senjata biologi bisa mencelakakan umat manusia,”
pungkasnya.
Jejak
Chemtrail di langit Jakarta
Jejak-jejak
kimia berupa asap “tak alamiah” dari kondensasi pesawat berupa awan memanjang
(chemical trails/chemtrails) yang disemprotkan pesawat asing kadang juga berisi
aerosol bermuatan virus maut yang sengaja disemprotkan.
Chemtrails
sering disemprotkan di atas langit Jakarta untuk “mempersiapkan” warga Jakarta
dan sekitarnya “menerima” virus flu burung (H5N1) yang telah dimodifikasi.
Bagaimana kelanjutannya? Silahkan baca: Depopulasi Dunia: Pesawat Semprot Zat
Kimia Berupa “Chemtrails” di Angkasa (The Economist/icc.wp.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar